Hukum-hukum Umum Seputar Akad Jual-beli
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Akad jual beli telah menjadi sarana pertukaran barang antara penjual dan pembeli. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembeli dapat memanfaatkan barang pembeliannya.
Demikianlah ketentuan asal pada setiap akad jual beli. Akan tetapi, ada beberapa poin penting yang seyogyanya Anda ketahui sebelum Anda memanfaatkan barang pembelian Anda. Dengan demikian, diharapkan Anda dapat bertindak sesuai dengan kewenangan Anda tanpa melanggar aturan dan hukum syariat berikut saya akan menyebutkan beberapa ketentuan penting yang harus dipindahkan oleh pembeli.
Ketentuan Pertama: Pemindahan Kepemilikan
Telah Anda ketahui bersama bahwa manfaat utama akad jual beli ialah memindahkan kepemilian barang. Dengan demikian, barang yang telah Anda jual secara sah menjadi milik pembeli, sehingga Anda tidak lagi berhak menggunakannya kecuali atas izin darinya, sebagaimana tidak ada orang lain yang berhak memanfaatkannya kecuali seizin pembeli.
Ketentuan ini berlaku walaupun pembeli belum melakukan pemabayaran sama sekali atau hanya membayar sebagiannya saja. Karena itu, bila masih merasa perlu untuk memanfaatkan barang hingga batas waktu tertentu, Anda dibenarkan untuk mengajukan kepadanya untuk diizinkan menggunakan barang hingga batas waktu yang disepakati. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ketika menjual ontanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa pada suatu hari ia menunggang onta yang telah kelelahan, sehingga ia berencana melepaskan ontanya. Namun, sebelum ia melakukan rencananya, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang sebelumnya berada di akhir rombongan- berhasil menyusulnya. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dan memukul onta tunggangan sahabat Jabi radhiallahu ‘anhu. Di luar dugaan, onta Sahabat Jabir sekejap berubah menjadi gesit dan lincah melebihi kebiasaannya.
Setelah melihat onta sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu pulih gesit kembali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, “Juallah onta itu kepadaku seharga 40 dirham.” Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu menolak tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dan berkata, “Tidak.” Namun, kembali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Juallah ontamu kepadaku.” Setelah penawaran kedua ini Sahabat Jabir pun menjual ontanya seharga 40 dirham, namun beliau mensyaratkan agar diizinkan tetap menungganginya hingga tiba di rumahnya. Dan setibanya di rumah, sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu segera menyerahkan ontanya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bayarannya.” (Riwayat al-Bukhari hadis no. 2569 dan Muslim hadis no. 4182)
Cermatilah, bagaimana sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu merasa perlu untuk mengajukan persyaratan agar dapat tetap menunggangi ontanya walaupun ia telah menjualnya. Sikap ini menunjukkan bahwa tanpa adanya persyaratan ini, ia tidak dapat lagi menunggangi onta itu, karena telah berpindah kepemilikikan.
Ketentuan Kedua: Manfaat dan Kerugian Barang
Sebagai konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah ditegaskan oleh Rauslullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis berikut:
Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan, “Ada seorang lelaki yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan berkata, ‘Wahai, Rasulullah, sesungguhnya ia telah mempekerjakan budakku.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab keluhannya dengan bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas tanggung jawab/jaminan’.”
Pada kisah ini, dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kegunaan barang adalah imbalan merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan Anda atas suatu barang. Dengan demikian, sebagai pembeli maka Anda harus siap menerima ketentuan ini, dan sebagai penjual Anda pun sewajarnya rela degan kenyataan ini.
Saudaraku, ketentuan ini sepenuhnya berlaku apabila barang yang menjadi objek akad jual beli telah Anda serahkan kepada pembeli. Adapun bila barang belum Anda serahkan kepada pembeli, maka sudah barang tentu akad jual beli belum selesai. Dan sebagai konsekuensinya, segala risiko kerusakan barang masih menjadi tanggung jawab Anda, penjual.
Peringatan
Hukum ini berlaku pada penjualan barang selain buah-buahan atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya. Adapun buah atau biji-biian yang telah menua namun masih berada di atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku walaupun Anda sebagai penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bila engkau membli buah-buahan dari saudaramu, lalu ditimpa bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan?” (Riwayat Muslim hadis no. 1554)
Ketentuan hukum ini berlaku dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia beli, walaupun Anda telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanennya. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya sebagai manusia biasa. Karena itu, bila Anda tetap memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli, berarti Anda telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang Anda berikan kepadanya.
Ketentuan Ketiga: Menjual Kembali (resale)
Di antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Hanya, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan kembali barang yang telah Anda beli.
Pantangan Pertama: Jangan Menjual Kembali Kepada Penjual
Dalam beberapa kesempatan, dikarenakan suatu alasan pembeli menjual kembali kepada penjual. Penjualan kembali kepada penjual pertama tentu menimbulkan tanda besar, mengapa dan apa untungnya? Karena itu, wajar bila Islam mewaspadai praktik-praktik semacam ini.
Secara umum, menjual kembali kepada penjual pertama memiliki –setidaknya- dua kemungkinan:
Kemungkinan pertama: Membeli dengan pembayaran terutang dan menjual kembali dengan pembayaran tunai. Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka praktik semacam ini merupakan celah nyata terjadinya praktik riba. Betapa tidak, biasanya penjual pertama menjual dengan harga lebih mahal, kemudian membeli kembali dengan harga yang lebih murah karena pembeliannya dengan cara tunai. Dan praktik semacam ini disebut dengan jual beli inah yang nyata-nyata terlarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila kaliant elah berjual beli dengan cara inah, sibuk dengan peternakan sapi, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari kalian hingga kalian kembali ke jalan agama kalian.” (Abu Dawud hadis no. 3464)
Kemungkinan Kedua: Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa bila penjualan kembali dengan pembayaran tunai atau terutang dengan harga yang sama atau lebih mahal dari harga penjualan pertama, maka tidak mengapa. Yang demikian itu dikarenakan kekhawatiran adanya praktik riba tidak terwujud, sehingga tidak ada alasan untuk melarang penjualan ini. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Barangsiapa melakukan dua akad penjualan dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus menggunakan harga yang termurah, bila tidak maka ia telah terjerumus dalam praktik riba.” (Riwayat Abu Dauwd hadis no.: 3463)
Pantangan Kedua: Menjual Kembali di Tempat Penjual Pertama
Barang yang Anda beli pada dasarnya telah menjadi milik Anda, sehingga idealnya Anda harus bertanggung jawab penuh atas segala yang terjadi padanya. Keuntungan menjadi milik Anda, dan sebaliknya, kerugian pun Anda yang menanggungnya –sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun, kadang kala karena keinginan untuk memperkecil risiko, maka sebagian pedagang melakukan penjualan kembali barang yang telah ia beli sedangkan barang tersebut masih berada di tempat penjual pertama.
Anda bisa tebak, siapakah yang rela membeli barang dari Anda, sedangkan Anda dan juga barang yang Anda jual masih berada di tempat penjual pertama. Secara logika, apa untungnya membeli dari Anda, padahal pembeli mampu membeli langsung dari penjual pertama.
Anda bisa tebak, siapakah yang rela membeli barang dari Anda, sedangkan Anda dan juga barang yang Anda jual masih berada di tempat penjual pertama. Secara logika, apa untungnya membeli dari Anda, padahal pembeli mampu membeli langsung dari penjual pertama.
Dengan merenungkan hal ini, Anda dapat melihat bahwa pada praktik semacam ini, yaitu menjual kembali padahal barang masih berada di tempat penjual pertama terdapat celah terjadinya praktik riba. Biasanya yang sudi membeli dari penjual kedua sedangkan ia –calon pembeli- telah sampai di tempat penjual pertama adalah orang yang tidak mampu melakukan pemabayaran tunai. Dengan demikian, sejatinya penjual kedua hanya sebatas mengutangi sejumlah uang kepada pembeli kedua, dan kemudian penjual kedua mendapatkan keuntungan dari piutang tersebut.
Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar. Ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki menemuiku dan menawar minyak tersebut. Ia menawarkan keuntungan yang cukup banyak. Tanpa pikir panjang, aku pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran darinya). Namun, tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Lalu ia berkata, ‘Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat pembeliannya, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pembeli ke tempatnya sendiri’.” (Riwayat Abu Dawud hadis no. 3501 dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadis hasan dalam kitabnya, Shahih Sunan Abu Dawud hadis no. 3499)
Pantangan Ketiga: Menjual Sebelum Menerima Barang
Di antara hal yang harus Anda waspadai sebelum Anda menjual kembali barang pembelian Anda ialah keberadaan barang tersebut. Bila barang yang Anda beli belum Anda terima, karena masih dalam proses pengiriman atau bahkan sedang dalam proses produksi, maka Anda tidak dibenarkan untuk menjualnya kembali sampai barang itu benar-benar tiba di tangan Anda. Yang demikian itu demi menutup berbagai celah praktik-praktik riba. Anda bisa bayangkan, bila pembeli dibenarkan menjual kembali sebelum menerima barangnya, maka pembeli selanjutnya pun akan melakukan hal yang serupa dan demikian seterusnya. Dan bila ini telah terjadi, maka sudah dapat Anda tebak, praktik-praktik riba tidak dapat dihindarkan. Praktik riba yang berupa uang melahirkan uang tanpa ada pergerakan barang atau jasa.
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar telah menerimanya’.” Ibnu Abbas berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Riwayat Bukhari hadis no. 2025 dan Muslim hadis no. 1525)
Thawus merasa heran dengan larangan ini, sehingga beliau bertanya kepada gurunya, yaitu Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu:
“Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana kok demikian?’ Ia menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda’.” (Riwayat Bukhari hadis no. 2025)
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu di atas sebagaimana berikut, “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.” (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4:348-349)
Ketentuan Keempat: Tidak Dapat Membatalkan Penjualan atau Pembelian
Di antara konsekuensi akad jual beli ialah kedua belah pihak tidak dapat membatalkan akad yang terjadi antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak kecurangan. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah setiap akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Keumuman ayat ini mencakup akad jual beli, sehingga Anda wajib memenuhi akad yang telah Anda sepakati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dengan gamblang pada sabdanya:
“Bila dua roang saling berjual beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah dan masih bersama-sama, atau salah satu dari keduanya menawarkan pilihan kepada kawannnya. Bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan, kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka telah selesailah akad jual beli tersebut. Apabila mereka berpisah setelah menjalankan akad jual beli, dan tidak ada seorang pun dari keduanya yang membatalkan akad penjualan, maka telah selesailah akad penjualan tersebut.” (Bukhari hadis no. 2006 dan Muslim hadis no. 1531)
Ketentuan Kelima: Bebas Menentukan Harga Jual
Di antara konsekuensi atas kepemilikian Anda terhadap suatu barang yang telah Anda beli, maka Anda berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana Anda pun bebas memasang batas nilai keuntungan yang Anda kehendaki diarinya. Yang demikian itu karena tidak ditemukan satu dalil pun yang membatasi nominal keuntungan yang boleh Anda pungut. Bahkan dalil-dalil yang ada mengindikasikan bahwa Anda bebas memasang target keuntungan yang Anda suka. Kisah berikut adalah salah satu dalil yang menguatkan penjelasan ini.”
Sahabat Urwah al-Bariqy radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku uang satu dinar untuk membeli seekor kambing kurban, atau seekor kambing. Berbekal uang dinar aku membeli dua ekor kambing dan aku menjual kembali salah satunya seharga satu dinar. Selanjutnya aku datang menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar.” Mendapatkan ulah cerdas sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga andai ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya.” (Riwayat Bukhari hadis. No. 3443)
Penutup
Semoga paparan singkat tentang beberapa hukum akad jual beli ini bermanfaat bagi Anda. Dengan demikian Anda dapat memahami pemabahasan-pembahasan tentang hukum jual beli yang telah menjadi tema rubrik ini dapat Anda pahami dengan baik. Dan dengan izin Allah untuk edisi selanjutnya saya akan mengetengahkan tema tentang hukum sewa-menyewa. Wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun kesebelas 1433 H/ 2012 M
Belum ada Komentar untuk "Hukum-hukum Umum Seputar Akad Jual-beli"
Posting Komentar